Kamis, 10 Mei 2012

Wakatobi Jadi Cagar Biosfer Dunia
 
 Penyelaman di Wakatobi.
WANGI-WANGI — Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurus masalah pendidikan dan kebudayaan, UNESCO, menetapkan kawasan Taman Nasional (TN) Laut Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra), sebagai salah satu kawasan cagar biosfer dunia yang ada di Indonesia, tanpa syarat.

Bupati Wakatobi, Hugua, di Wangi-Wangi, Kamis, mengatakan, UNESCO menetapkan kawasan TN Wakatobi seluas 1,3 juta hektar menjadi cagar biosfer dunia itu bersama 12 cagar biosfer lainnya di dunia.

Menurut Hugua, penetapan Wakatobi sebagai cagar biosfer dunia itu disepakati pada pertemuan "Penasihat Internasional Committee untuk Biosphere Reserve Program MAB UNESCO" ke-18 di Paris tanggal 2-4 April 2012.

"Pada pertemuan itu, ada 26 daerah yang dibahas menjadi cagar biosfer dunia, namun yang setujui hanya 13 daerah, termasuk Wakatobi, sedangkan lima daerah lainnya diterima dengan catatan dan lima daerah lainnya ditolak," ujarnya.

Ia mengatakan, dengan ditetapkannya Wakatobi sebagai cagar biosfer dunia, maka cagar biosfer di Indonesia pada Juli tahun 2012 akan menjadi sebanyak delapan daerah.

Menurut Hugua, ada tiga kepentingan yang dilindungi UNESCO dalam menetapkan TN Wakatobi sebagai pusat cagar biosfer dunia tersebut, yaitu kearifan lokal masyarakat Wakatobi, kelestarian lingkungan, dan kepentingan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan.

"Kearifan lokal yang dilindungi di Wakatobi adalah menyangkut tradisi budaya masyarakat dalam memperlakukan alam dan mengambil sesuatu dari alam," katanya.

Sedangkan kelestarian lingkungan perlu dilindungi karena kawasan perairan laut TN Wakatobi memiliki keragaman terumbu karang dan biota laut yang cukup tinggi dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain yang ada di dunia.

Jumlah spesies terumbu karang di perairan laut Wakatobi mencapai 750 spesies dari 850 spesies terumbu karang dunia. Di Laut Karibia yang banyak dikunjungi wisatawan, terutama penyelam, hanya memiliki 50 spesies terumbu karang, sedangkan Laut Merah hanya 300 spesies.

Untuk kepentingan ekonomi yang perlu dilindungi, menurut Hugua, bagaimana masyarakat di kawasan Wakatobi dapat memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada secara berkelanjutan, tanpa mengganggu keseimbangan lingkungan.

"Tiga kepentingan itu yang mendorong pihak UNESCO menjadikan kawasan perairan laut TN Wakatobi sebagai pusat cagar biosfer dunia," katanya.

Selasa, 08 Mei 2012

Hiu Raja Ampat Terancam
 
 Pemandangan gugusan pulau di Wayag, yang merupakan jantung dari wisata Raja Ampat, di Papua Barat, Minggu (23/10). Selain menyelam, wisatawan dapat menikmati keindahan bawah laut dengan snorkeling atau sekadar berenang. Tidak hanya itu, fauna endemik seperti burung cenderawasih dan maleo dapat diamati di sini.
JAKARTA - Populasi hiu di Raja Ampat Terancam dengan aksi perburuan oleh nelayan ilegal yang berasal dari luar kawasan.

Bukti perburuan hiu nyata. Pada 30 April 2012, masyarakat adat kampung Salyo dan Selpele serta Pos Angkatan Laut Waisai menahan 33 nelayan ilegal yang berburu hiu di kawasan itu.

Tim patroli menyita sirip hiu, bangkai ikan hiu, pari manta dan teripang yang bernilai 1,5 miliar rupiah. Hasil tangkapan dan dokumen kapal disita. Sayangnya, nelayan ilegal berhasil melarikan diri dan kini masih dalam pengejaran.

Ada tujuh kapal yang digunakan untuk perburuan hiu. Satu kapal berasal dari Buton, dua kapal berasal dari Sorong dan empat kapal berasal dari Kampung Yoi, Halmahera. Tak satu pun berasal dari Raja Ampat.

"Ini adalah kasus ketiga sejak 2005 dan juga kasus terbesar," kata Ketut Sarjana Putra, Direktur Conservation International (CI) Indonesia.

Ketut yang dihubungi Kompas.com, Selasa (8/5/2012) mengungkapkan, besarnya kasus kali ini dinilai dari jumlah awak kapal yang terlibat perburuan serta jumlah hasil tangkapan.

Menurut Ketut, kasus ini mencerminkan bahwa populasi hiu di Raja Ampat kembali menghadapi ancaman.

Sebelum tahun 2005, hiu di Raja Ampat diburu habis-habisan. Masyarakat setempat mengatakan bahwa hiu sudah dulit dijumpai, bahkan ada yang mengatakan sudah tidak ada.

"Saat ini, populasi hiu sudah mulai kembali. Tapi dengan adanya perburuan ini, hiu kembali terancam," tutur Ketut.

Raja Ampat memiliki potensi pariwisata hiu sebesar Rp 165 miliar per tahun dan menyumbang pendapatan daerah sebesar Rp 2,5 miliar per tahun. Hiu menjadi salah satu alasan wisatawan datang ke Raja Ampat.

Ketut memaparkan, jika populasi hiu kembali menurun dan sulit dijumpai, kerugian dari sisi pariwisata akan bernilai miliaran rupiah juga.

"Kita juga mengalami kerugian dari sisi keseimbangan ekosistem. Hiu ini top predator. Gangguan populasinya juga akan berpengaruh pada ekosistem," ungkap Ketut.

Terkait kasus lolosnya pemburu hiu baru-baru ini, Ketut menuturkan, pemerintah telah mengirimkan bantuan dengan menempatkan polisi patroli dan pos Angkatan Laut di Pulau Sayang, Raja Ampat. Pemerintah juga telah menempatkan polisi perairan di Pulau Wayag sejak 4 Meu 2012.

Namun demikian, Ketut menjelaskan bahwa pemerintah perlu mengambil tindakan lebih tegas untuk penyelamatan Raja Ampat. Jumlah awak patroli di Raja Ampat harus ditambah dan harus dilakukan patroli rutin. pemerintah juga mesti mendukung upaya masyarakat adat dalam memantau lautnya.

Senin, 07 Mei 2012

Populasi Orangutan Sumatera Makin Kritis
 Pongo pygmaenus abelii alias Orangutan Sumatera
BANDA ACEH — Aktivis Yayasan Ekosistem Lestari menyebutkan, populasi orangutan (Pongo pygmaenus abelii) di Sumatera tinggal 200 ekor. Ini sudah sangat mengkhawatirkan dan penyebabnya adalah kerusakan habitat primata dilindungi itu.

"Pada tahun 2000-an populasi orangutan di wilayah Sumatera di atas 1.000, tetapi pada 2012 ini sudah di bawah 200 karena sebagian besar sudah punah akibat lingkungan mereka dirusak," kata pengacara lingkungan hidup YEL Aceh, Halim, di Meulaboh, Senin (7/5/2012).

Keberadaan orangutan terbesar di kawasan hutan gambut Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh. Namun, selama ini kawasan itu disembunyikan keberadaannya karena ada pihak tertentu akan mencoba merusak habitat mereka.

"Selama ini informasi itu ditutupi karena akan ada pembukaan lahan baru di kawasan ini," katanya.

Halim mengatakan, selama ini isu yang digembar-gemborkan adalah keberadaan orangutan di Bukit Lawang, Langkat, Sumatera Utara, padahal kawasan itu hanya merupakan sebagian kecil populasi primata ini.

Ditambahkan, akibat alih fungsi lahan dari hutan gambut Rawa Tripa menjadi perkebunan sawit mulai dari Aceh Singkil hingga Kabupaten Nagan Raya, populasi Orangutan terus menyusut karena habitat mereka sudah dirusak orang tidak bertanggung jawab.

Jumat, 04 Mei 2012

Ironi, Pembantaian Orangutan
 Tengkorak Orangutan
JAKARTA - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah dan Pusat Reintroduksi Orangutan Nyarumenteng telah mengevakuasi 221 orangutan akibat pembabatan hutan yang dilakukan perusahaan kelapa sawit pada Maret 2003 sampai Juni 2006.

"Tim juga telah mendokumentasikan korban kekejaman dan kejahatan terhadap orangutan yang dilakukan staf perusahaan, perusahaan kontraktor, pekerja dan masyarakat setempat," kata Anggota Centre of Orangutan Protection (COP) Hardi Baktiantoro di Jakarta, Jumat (4/5/2012).

Menurut Hardi, pembantaian yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab itu sungguh ironi. Banyak orangutan yang dikubur hidup-hidup, dibakar, dibacok, dipukul hingga berujung pada kematian.

Padahal, lanjut dia, orangutan adalah salah satu jenis satwa liar paling dilindungi oleh hukum Indonesia dan mendapatkan simpati yang luas dari masyarakat internasional. Ironisnya, orangutan justru tidak terlindungi dengan baik.

"Di Kalimantan Timur tepatnya aliran sungai Katingan merupakan habitat 1.600 sampai 2.000 orangutan, ini harus segera diselamatkan, kalau tidak hewan yang dilindungi itu akan menuju kepunahan di daerah Kalimantan," katanya.

Mengenai populasi orangutan di Indonesia, kata Hardi, Indonesia memang belum memiliki data yang pasti, karena data-data ini masih dilakukan oleh beberapa lembaga riset dan banyak dilakukan oleh organisasi non-pemerintah seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan lembaga riset dari pihak asing. 

Kamis, 03 Mei 2012

Karst di Luar Kawasan Lindung Lebih Terancam
Sungai bawah tanah Kali Suci di Kecamatan Semanu yang merupakan bagian dari kawasan karst perbukitan seribu yang harus dilindungi.
CIBINONG - Kawasan karst yang berada di luar zona lindung lebih terancam dari kegiatan eksploitasi seperti tambang semen dan marmer.

"Kalau yang berada di kawasan dilindungi sudah jelas terlindungi. Yang tidak terjamin adalah yang di luar kawasan lindung, " kata Amran Achmad, Kepala Laboratorium Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Universitas Hasanuddin.

Amran mencontohkan kasus di kawasan karst Maros Pangkep di Sulawesi. Dari 40.000 hektar kawasan karst yang ada, hanya 20.000 hektar yang masuk zona dilindungi.

"Di luar kawasan, masih ada kawasan karst yang terpecah-pecah dalam beberapa lokasi," papar Amran dalam Lokakarya "Ekosistem Karst Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa" di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Kamis (3/5/2012).

Kawasan karst yang berada di luar zona dilindungi bukan berarti kawasan yang minim kekayaan biologi maupun arkeologi.

Amran mengatakan, "Kalau kawasan karst-nya terpecah-pecah, justru biodiversitasnya lebih khas."

Ia juga menambahkan bahwa banyak gua di kawasan karst yang tidak masuk area dilindungi menyimpan kekayaan arkeologis, berupa artefak peninggalan kehidupan di masa lampau.

Saat ini, aktivitas pertambangan semen berlangsung di kawasan karst Maros Pangkep. Pertambangan berlangsung di dekat karst yang punya kekayaan arkeologis sehingga berpotensi menciptakan gangguan bagi ekosistem karst.

Peneliti LIPI yang menggeluti Kala Cemeti, Cahyo Rahmadi, mengatakan bahwa pertambangan, alih fungsi kawasan karst serta aktivitas manusia terbukti mengganggu keseimbangan ekosistem.

"Pada daerah yang tidak terganggu, proporsi jenisnya bagus. Kalau di daerah yang terganggu, ada semut yang jumlahnya sangat meningkat, jomplang. Ini jelas salah," kata Cahyo.

Untuk mendukung pengelolaan kawasan karst yang baik, Amran mengusulkan perlunya pendataan potensi kawasan. Wilayah yang memiliki kekayaan geologis, arkeologis maupun geologis seharusnya dilindungi.

Kawasan karst Maros Pangkep adalah salah satu hotspot karst di dunia, paling kaya biodiversitas.

Rabu, 02 Mei 2012

Gajah Sumatera Ditemukan Tewas
 Ilustrasi: Gajah Sumatera mati.
BANDA ACEH — Konflik antara manusia dan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranae) makin kerap terjadi. Satu lagi gajah liar di Kabupaten Aceh Jaya ditemukan mati diracun pada Selasa (1/5/2012) di areal perkebunan kelapa sawit,  Desa Krueng Ayon, Kecamatan Sampoiniet.

Kapala seksi Perlindungan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Aceh Jaya Armidi di Calang, Rabu (2/5/2012), mengatakan, gajah yang mati diracun  di perbatasan dengan Krueng Beukah itu berkelamin betina, diperkirakan berusia 18 tahun, usia produktif bagi gajah sumatera.

Gajah betina itu juga diketahui tengah menyusui anak, tetapi tidak diketahui keberadaan anak gajah tersebut. Gajah hanya melahirkan satu anak tiap masa kebuntingan. Masa menyusui anak berlangsung sekitar dua tahun.

Dari anus induk gajah yang tewas keluar usus dan darah. Mulutnya juga mengeluarkan buih serta badannya biru. Gajah tewas begitu saja walaupun sempat ditolong petugas setempat.  Gajah itu disinyalir mati diracun pemilik lahan kelapa sawit.

"Sejak tujuh tahun terakhir gangguan gajah liar di Aceh Jaya sangat tinggi. Kami bersama BKSDA dan Conservation Response Unit Fauna-Flora International terus berupaya mengatasi konflik satwa dengan warga," kata Armidi.

Oleh manusia, gajah-gajah itu selalu dianggap menjadi hama dan pengancam. Gajah sering dianggap sebagai perusak puluhan hektar tanaman pertanian dan perkebunan milik warga, seperti padi, pinang, kelapa, karet, dan pisang.

Selain di kecamatan Sampoiniet, konflik satwa dilindungi itu juga terjadi di Kecamatan Jaya dan beberapa daerah lainnya.

Sementara itu Komandan Ranger CRU Sampoiniet, Mukhtar, mengatakan, gajah sumatera yang mati di tengah lintas badan jalan SP Empat dan SP Lima itu telah dikuburkan.

Kamis, 26 April 2012

Tampil Cantik Tak Harus Bunuh Satwa
Empat wanita asal Malang yang ikut serta melakukan demo yang digelar ProFauna Indonesia di Malang, Jawa Timur Kamis (26/4/2012). Mereka mengkampanyekan wanita bisa tampil cantik tidak harus membunuh satwa liar. 

MALANG - Di tengah maraknya bagian tubuh satwa liar yang dijadikan bahan perhiasan bagi wanita dan juga untuk kerajinan, Profauna Indonesia, menggelar kampanye bertema "Tampil Cantik Tanpa Membunuh Satwa Liar" di Kota Malang, Jawa Timur, Kamis (26/4/2012).
Kampanye yang dimotori ProFauna itu diperagakan oleh empat model cantik asal Malang, di atas trotoar di Jalan Veteran, Kota Malang, sekira pukul 10.30 WIB, dengan membentangkan spanduk bertuliskan "Tampil Cantik Tanpa Membunuh Satwa Liar".
Menurut Rosek Nursahid, Ketua ProFauna Indonesia, kampanye dilakukan tidak hanya di Malang, namun, di beberapa kota besar di Indonesia.
"Tujuannya untuk mengajak masyarakat khususnya kaum wanita agar turut serta membantu pelestarian satwa liar," jelasnya.
Kampanye tersebut menyerukan agar para wanita tidak membeli perhiasan atau kerajinan yang mengandung bagian tubuh satwa.
"Bagian satwa yang sering digunakan untuk kerajinan dan perhiasan adalah sisik penyu," katanya.
Berdasarkan hasil survei ProFauna jelas Rosek, yang marak penjualan perhiasan atau kerajinan yang mengandung sisik penyu adalah di Jakarta, Bali, Yogyakarta, Banyuwangi, dan Pangandaran.
"Kerajinan itu dalam bentuk gelang, kalung, kipas, kotak tempat perhiasan, dan anting-anting," beber Rosek,
Konsumen perhiasan dari bagian tubuh satwa itu adalah wanita. "Sungguh tidak beradab jika ada seorang yang mempercantik dirinya namun dengan membunuh satwa liar. Karena untuk mengambil sisik penyu itu, pasti membunuhnya," katanya.
Padahal, kata Rosek, dalam UU Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistem jelas penyu dilindungi.
"Bagi yang membunuh penyu untuk perhiasan maka diancam hukuman penjara 5 tahun dengan denda Rp 100 juta," tegasnya.
Selain itu, Rosek mengatakan, ProFauna mengajak kaum wanita untuk tidak membeli perhiasan dari bahan bagian tubuh penyu.
"Selain itu, kami juga mengajak kaum wanita untuk tidak membeli satwa liar seperti kukang, burung nuri, elang, primata dan jenis satwa liar lainnya," ajak Rosek.
Kalau kaum wanita yang berjumlah 127 juta jiwa di Indonesia, melestarikan satwa liar, maka akan lebih baik.
"Apalagi wanita punya kedekatan dengan anak atau keluarga sehingga punya peluang besar untuk mendidik anaknya agar turut peduli melestarikan satwa liar yang ada di Indonesia," katanya.